Rabu, 16 Maret 2011

Muhsinin Dan Ulul Albab

BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar belakang
Al Quran Karim adalah kitab Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad S.A.W. mengandung hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, ilmu pengetahuan, kisah-kisah, filsafah, peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku dan tata cara hidup manusia, baik sebagai makhluk individu ataupun makhluk sosial, sehingga berbahagia hidup di dunia dan di akhirat.
Al Quran Karim dalam menerangkan hal-hal yang tersebut di atas, ada yang dikemukakan secara terperinci dan ada yang dikemukakan secara umum dalam garis besarnya saja.
Al Quran karim sebagai suatu mu’jizat yang terbesar bagi nabi Muhammad saw, yang amat di cintai oleh kaum muslimin, karena fashaha serta balaghanya dan sebagai sumber petunjuk kebahagiaannya hidup di dunia dan akhirat.
Hal ini terbukti dengan perhatian yang amat besar terhadap pemeliharaannya semenjak turun di masa rasulullah sampai tersusunnya suatu mushaf di masa utsman bin affan, kemudian memperbaiki tulisannya dan menambah harakat dan titik-titik pada huruf-hurufnya. Supaya mudah di baca umat islam.
Karena kecintaan kepada Al Quran untuk membuktikan kebenarannya, mereka mengarang, menterjemahkan bermacam-macam ilmu pengetahuan.
Dari latar belakang di atas kami kelompok dua akan menjelaskan tentang ayat Al Muhsinun dan Ulul Albab yang di harapkan semoga bermanfaat bagi pembaca. Yang mana surat As-shaad dan surat Al-lukman  ini kami jadikan pembahasan dalam makalah ini karena yang pertama kami terarik pada ayat ini untuk dibahas dalam makalah ini. Yang kedua kami ingin mengetahui makna yang terkandung dalam ayat tersebut.

Rumusan masalah
1.      Apa pengertian dari al muhsinin dan ulul albab?
2.      Bagaimana komentar anda tentang al muhsinin dan ulul albab?
3.      Adakah kaitannya ayat dengan ayat-ayat lain?
Tujuan
1.      Untuk mengetahui ayat-ayat muhsinin dan ulul albab dalam kandungan Al-quran.
2.      Guna untuk mengetahui hubungan ayat muhsinin dan ulul albab dengan ayat lainnya.
3.      Bermanfaat bagi mahasiswa yang membaca makalah ini.
     4    Gna untuk memenuhi tugas mata kuliah tafsir social.








BAB II
PEMBAHASAN
1.Al muhsinin
Muhsinin adalah orang yang berbuat kebajikan dengan menolong orang miskin,membantu orang sakit,menyumbang dana yang dibutuhkan masyarakat,berupa masjid,sekolah,serta sarana-sarana kemasyarakatan lainnya.
seperti yang diterangkan dalam surat al-baqarah ayat 195 yang berbunyi:



“Dan belanjakanlah (harta bendamu) dijalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
“Allah SWT, kemudian memerintahkan berjuang dengan harta setelah memerintahkan berjuang jiwa maka dalam firman selanjutnya Allah SWT menegaskan : Dan belanjakanlah, yakni kurbankanlah hartamu pada jalan Allah SWT untuk mendorong agama-Nya dan mempertahankan kebenaran, janganlah kamu bakhil harta benda, karena sungguh emikian itu akan melerahkanmu dan memberikan peluang bagi musuh untuk memojokkanmu sehingga kamu binasa. Dan berbuat baiklah, sesungguhnya Allah mengakui orang-orang yang berbuat baik.[1]
1.      Sebab-sebab turunnya ayat (Asbabun Nuzul) Surat Al-Baqarah Ayat 195
Ibnu farir Ath Thabari telah meriwayatkan dari Aslam abi’ Imran, dia berkata : kami berada di Qusqantiniyyah dimana pada pihak mesir terdapat “Uqbah bin’ Amir “ sedangkan pada pihak ahli syam tedapat fadlalah bin ubaid kemudian muncul satu barisan besar dari rum, sehingga kami pun berbaris untuk menambut mereka tiba-tiba seseorang dari pihak kaum muslimin menyerbu dan masuk kedalam barisan mereka, lalu orang-orng menjerit dan berkata “Subhanallah, dia telah menjatuhkan dirinya dalam kebinasaan”, maka abu ayub al Anshari, sahabat Rasullah SAW bangkit dan berkata “wahai manusia ! kamu telah menakwilkan ayat ini dengan demikian sesungguhnya ayat ini turun pada kami sekalian orang-orang anshar, dimana ketika Allah telah memulihkan agama-Nya dan memperbanyak para penolongnya, maka sebagian kami berkata kepda sebagiannya secara berbisik-bisik, tidak ada Rasullah SAW. : “Sesungguhnya harta benda kita telah hilang dan Allah SWT telah memuliakan agama-Nya, kalau saja kita diperkenankan tinggal, maka kita bis membangun kembali ekonomi kita yang telah hancur”, kemudian Allah menurunkan ayat dalam kitabNya untuk menjawab apa yang kami inginkan :
(Dan belanjakan harta bendamu pada jalan Allah dan janganlah kamu jatuhkan diri kamu kedalam kebinasaan).Maka kebinasaan adalah menunggui dan memperbaiki ekonomi serta mninggalkan peperangan(perjuangan)[2].Maka Abu Ayyub Al Ansori tidak henti-hentinya menyertai peperangan di jalan Allah hingga beliau wafat dan dimakamkan di Qusqantiniyyah(Istambul).
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi (bulan syawal, Dzulkaidah dan Dzulhijjah), barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats (mengeluarkan perkataan yang menimbulkan birahi yang tidak senonoh / bersetubuh), berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa (maksud bekal takwa disini ialah bekal yang cukup agar dapat memelihara diri dari perbuatan hina atau minta-minta selama perjalanan haji) dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal”.
2.      Makna Global
Allah SWT menerangkan pada bulan-bulan haji, yaitu syawal, ZulQa’dah dan sepuluh hari dari bulan Zulhijjah dan Allah SWT, memerintahkan kepada orang yang telah menatapkan dirinya menjalankan haji supaya menjauhkan dirinya dari kebiasaan-kebiasaannya dan bersuka-suka dengan kenikmatan-kenikmatan dunia. Karena dia sedang menghadap Allah dan mengharap ridha-nya. Maka dia harus meninggalkan bersuka-suka dengan wanita, meninggalkan maksiat, bertengkar, berbantah-bantah dengan orang, bahkan dia harus memperbanyak amal sehingga yang mendekatkannya kepada Allah SWT.
Segi Hubungannya dengan ayat-ayat yang lain
Hukum haji disebutkan setelah menyebut hukum puasa, karena bulan-bulan haji datang tepat setelah bulan puasa, adapun ayat-ayat tentang Qitql (perang) dahulu telah diturunkan dalam menerangkan hukum-hukum bulan suci, ihram dan masjidil haram, ketika Nabi SAW hendak melaksanakan umrah dan dihalangi oleh kaum musyrikin di hudaibiyyah, kemudian Nabi SAW, akan mengqadla-nya di tahun berikutnya, sedangkan para sahabat beliau menghawatirkan kaum musyrikin akan mengingkar mereka, maka Allah SWT, menurunkan ayat mengenai hukum-hukum perang, kemudian Allah SWT. Mengulangi pembicaraan kepada menyempurnakan hukum-hukum haji maka demikianlah kaitan-kaitan dengan ayat-ayat tsb. Wallahu A’lam.
3.      Latar belakang turunnya (sababun Nuzul)
Dan Ibnu Abbas ra dia berkata :
“penduduk yaman menunaikan haji tanpa membawa bekal dan mereka bilang “kami bertawakkal” kemudian dan mereka meminta-minta orang lain. Maka Allah sWT, menurunkan ayat : dan berbekallah kamu, sesungguhnya sebaik-baiknya bekal adalah taqwa…” (Al-Baqarah:197) (HR. Bukhari, Abu Dawud dan An Nasa’i. periksa zadul Masir, juz I,hal.212.)
4.       Ciri-ciri Muhsinin
Muhsinin, adalah orang-orang yang bertaqwa, yang senantiasa menginfaqkan hartanya di jalan Allah, baik dalam keadaan lapang maupun dalam keadaan sempit, bahkan menyisihkan khusus dari hartanya untuk orang yang meminta-minta dan tak berpunya.
Dapat menahan amarah serta senantiasa memaafkan kesalahan orang lain. Tetap dalam kesabaran di dalam menghadapi semua keadaan, baik dalam keadaan susah maupun dalam keadaan senang dan bersungguh-sungguh di dalam melaksanakan perintah Allah SWT.
Senantiasa menegakkan shalat, khususnya shalat malam, hingga mereka hanya tidur sedikit. Senantiasa ingat kepada Allah, khususnya bila tergelincir melakukan dosa, segera mereka meminta ampun kepada Allah dan berjanji tidak akan mengulanginya. Ayat-ayat al-Quran adalah pedoman dan penyejuk bagi mereka. Keyakinan yang kokoh tentang kehidupan akhirat.

5. Sikap Allah kepada Muhsinin
Ada ayat yang menyatakan Allah SWT mencintai muhsinin, di mana para muhsinin itu bersungguh-sungguh dalam ketakwaannya dalam menginfakkan harta mereka di jalan Allah. Oleh karena kecintaannya kepada muhsinin, Allah senantiasa bersama mereka. Rahmat Allah sangat dekat kepada muhsinin, dan Allah berjanji tidak akan menyia-nyiakan amal mereka.
6.      Janji Allah
Allah berjanji akan membalas dengan kebaikan di dunia dan kebahagiaan di akhirat untuk para muhsinin itu. Empat kali Allah berulang-ulang menyatakan tidak akan menyia-nyiakan amal mereka. Untuk itu, Allah memerintahkan kesabaran, seperti yang tertera di dalan surat Hud ayat 115.
Seperti disebutkan Allah dalam surat al-Maidah ayat 85, balasan untuk muhsinin itu adalah surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal abadi di situ.
7.      komentar
Setiap muslim dituntut untuk menjadi muhsinin dan untuk mencapai tingkat muhsinin itu, diperlukan ilmu yang secukupnya dalam memahami Islam. Khususnya isi al-Quran. Lalu dengan dasar iman mengamalkan ajaran-ajaran Islam itu, bukan sekedar karena adat dan kebiasaan, dan semua amal itu diusahakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya, yaitu dengan cara ihsan. Dan ketika Rasulullah Saw ditanya tentang ihsan beliau menjawab, ihsan ialah engkau menyembah Allah seakan-akan melihat-Nya, dan bila engkau tak melihat-Nya, maka yakinlah sesungguhnya Dia melihatmu.
1.      Ulul Albab

Ulul albab adalah istliah khusus yang digunakan oleh Al-quran untuk menyebut sekelompok manusia pilihan semacam intelektual. Istilah Ulul Albab (أُولُو الْأَلْبَابِ) dapat ditemukan dalam teks al-Qur’an sebanyak 16 kali di beberapa tempat dan topik yang berbeda, yaitu dalam QS. Al-Baqarah; 179, 197, 269; Qs. Ali Imran: 7, 190; al-Maidah: 100; Yusuf: 111, al-Ra’d: 19, Ibrahim: 52; Shad: 29, 43; al-Zumar: 9, 18,21; al-Mu’min: 54, dan al-Thalaq:10.
(Surah Shaad 29)
O كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
Artinya :
“Kitab (Al-Qur’an) yang kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran”.
Para intelektual muslim Indonesia memahami, memberikan definisi dan karakteristik أُولُو الْأَلْبَابِ secara berbeda-beda:
1.      Quraish Shihab(2000:16). menyatakan bahwa jika ditinjau secara etimologis, kata albab adalah bentuk plural dari kata lubb, yang berarti saripati sesuatu. Kacang misalnya, memiliki kulit yang menutupi isinya. Isi kacang disebut lubb. Berdasarkan definisi etimologi ini, dapat diambil pengertian terminologi bahwa ulul albab adalah orang yang memiliki akal yang murni, yang tidak diselubungi oleh kulit, yakni kabut ide yang dapat melahirkan kerancuan dalam berfikir
2.      AM Saefuddin (1987) menyatakan bahwa ulul albab adalah intelektual muslim atau pemikir yang memiliki ketajaman analisis atas fenomena dan proses alamiah, dan menjadikan kemampuan tersebut untuk membangun dan menciptakan kemaslahatan bagi kehidupan manusia.
3.      Jalaluddin Rahmat(1986) mengemukakan lima karakteristik ulul albab, yakni:
a)      Kesungguhan mencari ilmu dan kecintaannya mensyukuri nikmat Allah (QS. Ali Imran: 190); (2)
b)      Memiliki kemampuan memisahkan sesuatu dari kebaikan dan keburukan, sekaligus mengarahkan kemampuannya untuk memilih dan mengikuti kebaikan tersebut (QS. Al-Maidah: 3);
c)      Bersikap kritis dalam menerima pengetahuan atau mendengar pembicaraan orang lain, memiliki kemampuan menimbang ucapan, teori, proposisi dan atau dalil yang dikemukakan orang lain (QS. Al-Zumar: 18);
d)     Memiliki kesediaan untuk menyampaikan ilmunya kepada orang lain, memiliki tanggung jawab untuk memperbaiki masyarakat serta terpanggil hatinya untuk menjadi pelopor terciptanya kemaslahatan dalam masyarakat (QS. Ibrahim: 2 dan al-Ra’d: 19-22);
e)      Merasa takut hanya kepada Allah (QS. Al-Baqarah: 197 dan al-Thalaq: 10).

Ciri-Ciri  Ulul-Albab
1.      bersungguh-sungguh mencari ilmu, seperti disebutkan dalam
Al-Quran:
“Dan orang yang bersungguh-sungguh dalam ilmu pengetahuan mengembangkannya dengan seluruh tenganya, sambil berkata: ‘Kami percaya, ini semuanya, berasal dari hadirat Tuhan kami,’ dan tidak mendapat peringatan seperti itu kecuali ulul-albab.” (QS.3:7)
2.      mampu memisahkan yang jelek dari yang baik, kemudian ia pilih yang
baik, walaupun ia harus sendirian mempertahankan kebaikan itu dan walaupun kejelekan itu dipertahankan oleh sekian banyak orang.
Allah berfirman: “Katakanlah, tidak sama kejelekan dan kebaikan, walaupun banyaknya kejelekan itu mencengangkan engkau. Maka takutlah kepada Allah,hai ulul-albab.” (QS.5:100)
3.      kritis dalam mendengarkan pembicaraan, pandai menimbang-nimbang
ucapan, teori, proposisi atau dalil yang dikemukakan oleh orang lain:
“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk dan mereka itulah ulul-albab.” (QS.39:18)
4.      bersedia menyampaikan ilmunya kepada orang lain untuk
memperbaiki masyarakatnya. “(Al-Quran) ini adalah penjelasan yang cukup bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringat dengan dia, dan supaya mereka mengetahui bahwasannya Dia adalah Tuhan Yang Maha esa dan agar ulul-albab mengambil pelajaran.” (QS.14:52)
5.      tidak takut kepada siapa pun kecuali kepada Allah. Berkali-kali
Al-Quran menyebutkan bahwa ulul-albab hanya takut kepada Allah:
“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baiknya bekal adalah takwa dan
bertakwalah kepada-Ku hai ulul-albab.” (QS 2:197)
“. . . maka bertakwalah kepada  Allah hai ulul-albab, agar kamu mendapat
keberuntungan.” (QS 5:179) “Allah menyediakan bagi mereka azab yang
keras, maka bertakwalah kepada Allah hai ulul-albab.” (QS. 65:10)
                        Komentar
Ulul Albab merupakan seseorang yang sedang dalam mencari ilmu. Dimana Ulul Albab sendiri merupakan seseorang yang taqwa kepada Allah SWT. Karena seseorang yang mencari ilmu secara otomatis mereka menjalankan perintah Allah SWT. Yang mana kita disuruh mencari ilmu sampai ke liang lahat.

           







BAB III
KESIMPULAN

Sampai di sini, tampaknya seorang ulul-albab tak jauh berbeda dengan seorang intelektual; ini jika dilihat dari beberapa tanda ulul-albab yang telah
disebutkan seperti: bersungguh-sungguh mempelajari ilmu, mau mempertahankan
keyakinannya, dan merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya. Namun dalam ayat lain, Allah dengan jelas membedakan seorang ulul-albab dengan intelektual:
“Apakah orang yang bangun di tengah malam, lalu bersujud dan berdiri
karena takut menghadapi hari akhirat, dan mengharapkan rahmat Tuhannya: samakah
orang yang berilmu seperti itu dengan orang-orang yang tidak berilmu dan tidak
memperoleh perinagtan seperti itu kecuali ulul-albab.” (QS. 39:9)
Dengan merujuk kepada firman Allah di atas, inilah “tanda khas” yang
membedakan ulul-albab dengan ilmuwan atau intelektual lainnya. Ulul-albab rajin
bangun tengah malam untuk bersujud dan ruku di hadapan Allah. Dia merintih pada
waktu dini hari, mengajukan segala derita dan segala permohonan ampunan kepada
Allah Swt, semata-mata hanya mengharapkan rahmat-Nya.
Tanda khas yang lain disebutkan dalam Al-Quran: “Dia zikir kepada Allah
dalam keadaan berdiri, dalam keadaan duduk, dan keadaan berbaring.” (QS
3:191)
Kalau dapat saya simpulkan dalam satu rumus, maka ulul-albab adalah sama dengan intelektual plus ketakwaan, intelektual plus kesalehan. Di dalam diri ulul-albab berpadu sifat-sifat ilmuwan, sifat-sifat intelektual, dan sifat orang yang dekat
dengan Allah Swt. Sebetulnya Islam mengharapkan bahwa dari setiap jenjang
pendidikan lahir ulul-albab, bukan sekadar sarjana yang tidak begitu banyak
gunanya, kecuali untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rutin. Islam
mengharapkan dari jenjang-jenjang pendidikan lahir ilmuwan yang intelektual dan
yang sekaligus ulul-albab. – Bang Imad (alm)















Selain keteladanan dari sang Wali (Malik Ibrahim) UIN yang dulunya UIN Malang ini sudah mengembang kepribadian Ulul albab bagi mahasiswanya. Istilah Ulul Albab (أُولُو الْأَلْبَابِ) dapat ditemukan dalam teks al-Qur’an sebanyak 16 kali di beberapa tempat dan topik yang berbeda, yaitu dalam QS. Al-Baqarah; 179, 197, 269; Qs. Ali Imran: 7, 190; al-Maidah: 100; Yusuf: 111, al-Ra’d: 19, Ibrahim: 52; Shad: 29, 43; al-Zumar: 9, 18,21; al-Mu’min: 54, dan al-Thalaq:10.
Berdasarkan atas ayat-ayat tersebut di atas, para intelektual muslim Indonesia memahami, memberikan definisi dan karakteristik أُولُو الْأَلْبَابِ secara berbeda-beda. Quraish Shihab(2000:16). menyatakan bahwa jika ditinjau secara etimologis, kata albab adalah bentuk plural dari kata lubb, yang berarti saripati sesuatu. Kacang misalnya, memiliki kulit yang menutupi isinya. Isi kacang disebut lubb. Berdasarkan definisi etimologi ini, dapat diambil pengertian terminologi bahwa ulul albab adalah orang yang memiliki akal yang murni, yang tidak diselubungi oleh kulit, yakni kabut ide yang dapat melahirkan kerancuan dalam berfikir. Agak sedikit berbeda, AM Saefuddin (1987) menyatakan bahwa ulul albab adalah intelektual muslim atau pemikir yang memiliki ketajaman analisis atas fenomena dan proses alamiah, dan menjadikan kemampuan tersebut untuk membangun dan menciptakan kemaslahatan bagi kehidupan manusia.
Dengan bahasa yang lebih rinci lagi, Jalaluddin Rahmat(1986) mengemukakan lima karakteristik ulul albab, yakni: (1) Kesungguhan mencari ilmu dan kecintaannya mensyukuri nikmat Allah (QS. Ali Imran: 190); (2) Memiliki kemampuan memisahkan sesuatu dari kebaikan dan keburukan, sekaligus mengarahkan kemampuannya untuk memilih dan mengikuti kebaikan tersebut (QS. Al-Maidah: 3); (3) Bersikap kritis dalam menerima pengetahuan atau mendengar pembicaraan orang lain, memiliki kemampuan menimbang ucapan, teori, proposisi dan atau dalil yang dikemukakan orang lain (QS. Al-Zumar: 18); (4) Memiliki kesediaan untuk menyampaikan ilmunya kepada orang lain, memiliki tanggung jawab untuk memperbaiki masyarakat serta terpanggil hatinya untuk menjadi pelopor terciptanya kemaslahatan dalam masyarakat (QS. Ibrahim: 2 dan al-Ra’d: 19-22); (5) Merasa takut hanya kepada Allah (QS. Al-Baqarah: 197 dan al-Thalaq: 10).
Karakteristik ulul albab yang dikemukakan oleh Jalaluddin di atas, item 1-3 dan 5 terkait dengan kemampuan berfikir dan berdzikir, dan item keempat terkait dengan kemampuan berkarya positif dan kemanfaatannya bagi kemanusiaan. Dengan demikian, insan Ulul Albab adalah komunitas yang memiliki keunggulan tertentu dan berpengaruh besar pada transformasi sosial. Kualitas dimaksud adalah terkait dengan kedalaman spiritualitas (dzikr), ketajaman analisis (fikr) dan pengaruhnya yang besar bagi kehidupan (amal shaleh). Tegasnya, kualitas ulul albab adalah kualitas yang komprehensif atau dalam bahasa Dawam Rahardjo sebagai orang atau sejumlah orang yang memiliki kualitas yang berlapis-lapis. (Dawam Raharjo, 2002: 557).
Tiga elemen ulul albab, yakni dzikr, fikr dan amal shaleh bukanlah kualitas yang satu sama lain saling berdiri sendiri. Di sini terdapat dialektika yang menyatakan bahwa aspek dzikir juga mencakup fikir. Artinya bahwa kegiatan berdzikir juga melibatkan fikir, namun memiliki tingkatan lebih tinggi, karena pemikiran tersebut mengarah kepada upaya maksimal mencapai kebenaran hakiki yang bersifat transendental. Dengan kata lain, dzikir sesungguhnya juga aktivitas berfikir namun disertai dengan upaya sungguh-sungguh untuk mencapai hakikat sesuatu, yang mengarah kepada pengakuan atas keagungan Maha Karya Tuhan sebagaimana disebutkan dalam QS. Ali Imran: 190. Realitas empiris yang harus diamati dan dipelajari, yakni pergantian siang dan malam dalam ayat tersebut, merupakan salah satu piranti kuat bagi seseorang yang memperhatikan kekuasaan Tuhan, untuk mencapai kesimpulan bahwa semua itu terjadi atas kemahakuasaan Tuhan. Dengan demikian, aktivitas dzikir yang mengikutkan fikir merupakan kekuatan yang mengantarkan seseorang memperoleh derajat ulul albab.
Berdasarkan pemahaman terhadap ayat di atas, dapat dinyatakan bahwa kesombongan dan keangkuhan karena prestasi yang didapatkan seseorang dalam mengembangkan keilmuan, jauh dari kualitas ulul albab. Pengakuan akan kekuasaan Tuhan merupakan pernyataan yang selalu dikumandangkan oleh seseorang yang berkualitas ulul albab.
Keragaman definisi di atas, dapat dirangkum pengertian dan cakupan makna ulul albab dalam tiga pilar, yakni: dzikir, fikir dan amal shaleh. Secara lebih detail, ulul albab adalah kemampuan seseorang dalam merenungkan secara mendalam fenomena alam dan sosial, yang hal itu mendorongnya mengembangkan ilmu pengetahuan, dengan berbasis pada kepasrahan secara total terhadap kebesaran Allah, untuk dijadikan sebagai penopang dalam berkarya positif.
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa karakteristik dan ciri-ciri ulul albab adalah memiliki kualitas berupa kekuatan dzikir, fikir dan amal shaleh. Atau dalam bahasa lain, masyarakat yang mempunyai status ulul alab adalah mereka yang memenuhi indikator Berikut; (1) Memiliki ketajaman analisis; (2) Memliki kepekaan spiritual; (4) Optimisme dalam menghadapi hidup; (5) Memiliki keseimbangan jasmani-ruhani; individual-sosial dan keseimbangan dunia-akhirat; (6) Memiliki kemanfaatan bagi kemanusiaan; (7) Pioneer dan pelopor dalam transformasi sosial; (8) Memiliki kemandirian dan tanggung jawab; dan (9) Berkepribadian kokoh.

Kalau dapat disimpulkan dalam satu rumus, maka ulul-albab adalah sama dengan intelektual plus ketakwaan, intelektual plus kesalehan. Di dalam diri ulul-albab berpadu sifat-sifat ilmuwan, sifat-sifat intelektual, dan sifat orang yang dekat dengan Allah Swt. Sebetulnya Islam mengharapkan bahwa dari setiap jenjang pendidikan lahir ulul-albab, bukan sekadar sarjana yang tidak begitu banyak gunanya, kecuali untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rutin. Islam mengharapkan dari jenjang-jenjang pendidikan lahir ilmuwan yang intelektual dan yang sekaligus ulul-albab.

Penutup

Berdirinya IAIN pada awal mulanya merupakan usaha di dalam mengembangkan keilmuan Islam untuk membentuk ulama yang intelek atau intelek yang ulama. Usaha ini merupakan bentuk dari ijtihad para pemimpin bangsa ini di dalam melihat perkembangan sarjana-sarjana Islam di dalam berhadapan dengan sarjana-sarjana lulusan universitas “sekuler”. Dalam perkembangannya, IAIN mampu mewarnai kehidupan bangsa ini dengan sumbangan pemikiran para alumninya. Namun tidak hanya berbangga dengan itu, dalam kurun yang sama Studi Islam (Islamic Studies) perlu berdialog dengan keilmuan manapun. Adanya dikotomi antara keilmuan umum dan keilmuan agama menjadikan IAIN bergerak kurang bebas di dalam mengembangkan keilmuannya. Begitu juga dengan kecenderungan saat ini di mana Studi Islam mengalami krisis relevansi ketika berhadapan dengan kehidupan modern. Usaha menjadikan IAIN menjadi UIN, khususnya di UIN Malik Ibrahim Malang merupakan proyek keilmuan yang patut mendapat apresiasi. Pengintegrasian antara keilmuan Agama, Sosial dan Sains diharapkan dapat tercipta dalam tradisi akademik mendatang dengan semangat berubahnya nama ini. Amin

Selain keteladanan dari sang Wali (Malik Ibrahim) UIN yang dulunya UIN Malang ini sudah mengembang kepribadian Ulul albab bagi mahasiswanya. Istilah Ulul Albab (أُولُو الْأَلْبَابِ) dapat ditemukan dalam teks al-Qur’an sebanyak 16 kali di beberapa tempat dan topik yang berbeda, yaitu dalam QS. Al-Baqarah; 179, 197, 269; Qs. Ali Imran: 7, 190; al-Maidah: 100; Yusuf: 111, al-Ra’d: 19, Ibrahim: 52; Shad: 29, 43; al-Zumar: 9, 18,21; al-Mu’min: 54, dan al-Thalaq:10.
Berdasarkan atas ayat-ayat tersebut di atas, para intelektual muslim Indonesia memahami, memberikan definisi dan karakteristik أُولُو الْأَلْبَابِ secara berbeda-beda. Quraish Shihab(2000:16). menyatakan bahwa jika ditinjau secara etimologis, kata albab adalah bentuk plural dari kata lubb, yang berarti saripati sesuatu. Kacang misalnya, memiliki kulit yang menutupi isinya. Isi kacang disebut lubb. Berdasarkan definisi etimologi ini, dapat diambil pengertian terminologi bahwa ulul albab adalah orang yang memiliki akal yang murni, yang tidak diselubungi oleh kulit, yakni kabut ide yang dapat melahirkan kerancuan dalam berfikir. Agak sedikit berbeda, AM Saefuddin (1987) menyatakan bahwa ulul albab adalah intelektual muslim atau pemikir yang memiliki ketajaman analisis atas fenomena dan proses alamiah, dan menjadikan kemampuan tersebut untuk membangun dan menciptakan kemaslahatan bagi kehidupan manusia.
Dengan bahasa yang lebih rinci lagi, Jalaluddin Rahmat(1986) mengemukakan lima karakteristik ulul albab, yakni: (1) Kesungguhan mencari ilmu dan kecintaannya mensyukuri nikmat Allah (QS. Ali Imran: 190); (2) Memiliki kemampuan memisahkan sesuatu dari kebaikan dan keburukan, sekaligus mengarahkan kemampuannya untuk memilih dan mengikuti kebaikan tersebut (QS. Al-Maidah: 3); (3) Bersikap kritis dalam menerima pengetahuan atau mendengar pembicaraan orang lain, memiliki kemampuan menimbang ucapan, teori, proposisi dan atau dalil yang dikemukakan orang lain (QS. Al-Zumar: 18); (4) Memiliki kesediaan untuk menyampaikan ilmunya kepada orang lain, memiliki tanggung jawab untuk memperbaiki masyarakat serta terpanggil hatinya untuk menjadi pelopor terciptanya kemaslahatan dalam masyarakat (QS. Ibrahim: 2 dan al-Ra’d: 19-22); (5) Merasa takut hanya kepada Allah (QS. Al-Baqarah: 197 dan al-Thalaq: 10).
Karakteristik ulul albab yang dikemukakan oleh Jalaluddin di atas, item 1-3 dan 5 terkait dengan kemampuan berfikir dan berdzikir, dan item keempat terkait dengan kemampuan berkarya positif dan kemanfaatannya bagi kemanusiaan. Dengan demikian, insan Ulul Albab adalah komunitas yang memiliki keunggulan tertentu dan berpengaruh besar pada transformasi sosial. Kualitas dimaksud adalah terkait dengan kedalaman spiritualitas (dzikr), ketajaman analisis (fikr) dan pengaruhnya yang besar bagi kehidupan (amal shaleh). Tegasnya, kualitas ulul albab adalah kualitas yang komprehensif atau dalam bahasa Dawam Rahardjo sebagai orang atau sejumlah orang yang memiliki kualitas yang berlapis-lapis. (Dawam Raharjo, 2002: 557).
Tiga elemen ulul albab, yakni dzikr, fikr dan amal shaleh bukanlah kualitas yang satu sama lain saling berdiri sendiri. Di sini terdapat dialektika yang menyatakan bahwa aspek dzikir juga mencakup fikir. Artinya bahwa kegiatan berdzikir juga melibatkan fikir, namun memiliki tingkatan lebih tinggi, karena pemikiran tersebut mengarah kepada upaya maksimal mencapai kebenaran hakiki yang bersifat transendental. Dengan kata lain, dzikir sesungguhnya juga aktivitas berfikir namun disertai dengan upaya sungguh-sungguh untuk mencapai hakikat sesuatu, yang mengarah kepada pengakuan atas keagungan Maha Karya Tuhan sebagaimana disebutkan dalam QS. Ali Imran: 190. Realitas empiris yang harus diamati dan dipelajari, yakni pergantian siang dan malam dalam ayat tersebut, merupakan salah satu piranti kuat bagi seseorang yang memperhatikan kekuasaan Tuhan, untuk mencapai kesimpulan bahwa semua itu terjadi atas kemahakuasaan Tuhan. Dengan demikian, aktivitas dzikir yang mengikutkan fikir merupakan kekuatan yang mengantarkan seseorang memperoleh derajat ulul albab.
Berdasarkan pemahaman terhadap ayat di atas, dapat dinyatakan bahwa kesombongan dan keangkuhan karena prestasi yang didapatkan seseorang dalam mengembangkan keilmuan, jauh dari kualitas ulul albab. Pengakuan akan kekuasaan Tuhan merupakan pernyataan yang selalu dikumandangkan oleh seseorang yang berkualitas ulul albab.
Keragaman definisi di atas, dapat dirangkum pengertian dan cakupan makna ulul albab dalam tiga pilar, yakni: dzikir, fikir dan amal shaleh. Secara lebih detail, ulul albab adalah kemampuan seseorang dalam merenungkan secara mendalam fenomena alam dan sosial, yang hal itu mendorongnya mengembangkan ilmu pengetahuan, dengan berbasis pada kepasrahan secara total terhadap kebesaran Allah, untuk dijadikan sebagai penopang dalam berkarya positif.
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa karakteristik dan ciri-ciri ulul albab adalah memiliki kualitas berupa kekuatan dzikir, fikir dan amal shaleh. Atau dalam bahasa lain, masyarakat yang mempunyai status ulul alab adalah mereka yang memenuhi indikator Berikut; (1) Memiliki ketajaman analisis; (2) Memliki kepekaan spiritual; (4) Optimisme dalam menghadapi hidup; (5) Memiliki keseimbangan jasmani-ruhani; individual-sosial dan keseimbangan dunia-akhirat; (6) Memiliki kemanfaatan bagi kemanusiaan; (7) Pioneer dan pelopor dalam transformasi sosial; (8) Memiliki kemandirian dan tanggung jawab; dan (9) Berkepribadian kokoh.

Kalau dapat disimpulkan dalam satu rumus, maka ulul-albab adalah sama dengan intelektual plus ketakwaan, intelektual plus kesalehan. Di dalam diri ulul-albab berpadu sifat-sifat ilmuwan, sifat-sifat intelektual, dan sifat orang yang dekat dengan Allah Swt. Sebetulnya Islam mengharapkan bahwa dari setiap jenjang pendidikan lahir ulul-albab, bukan sekadar sarjana yang tidak begitu banyak gunanya, kecuali untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rutin. Islam mengharapkan dari jenjang-jenjang pendidikan lahir ilmuwan yang intelektual dan yang sekaligus ulul-albab.

Penutup

Berdirinya IAIN pada awal mulanya merupakan usaha di dalam mengembangkan keilmuan Islam untuk membentuk ulama yang intelek atau intelek yang ulama. Usaha ini merupakan bentuk dari ijtihad para pemimpin bangsa ini di dalam melihat perkembangan sarjana-sarjana Islam di dalam berhadapan dengan sarjana-sarjana lulusan universitas “sekuler”. Dalam perkembangannya, IAIN mampu mewarnai kehidupan bangsa ini dengan sumbangan pemikiran para alumninya. Namun tidak hanya berbangga dengan itu, dalam kurun yang sama Studi Islam (Islamic Studies) perlu berdialog dengan keilmuan manapun. Adanya dikotomi antara keilmuan umum dan keilmuan agama menjadikan IAIN bergerak kurang bebas di dalam mengembangkan keilmuannya. Begitu juga dengan kecenderungan saat ini di mana Studi Islam mengalami krisis relevansi ketika berhadapan dengan kehidupan modern. Usaha menjadikan IAIN menjadi UIN, khususnya di UIN Malik Ibrahim Malang merupakan proyek keilmuan yang patut mendapat apresiasi. Pengintegrasian antara keilmuan Agama, Sosial dan Sains diharapkan dapat tercipta dalam tradisi akademik mendatang dengan semangat berubahnya nama ini. Amin


KRITIK DAN SARAN
Dalam penyusunan makalah ini, kami selaku pemakalah menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami sangat menerima masukan-masukan atau kritikan-kritikan dari pembaca yang bersifat membangun. Agar makalah ini dapat menuju kesempurnaan.
Dan dalam kesempatan kali ini kami ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tugas makalah ini. Terutama kami sangat berterima kasih kepada Bpk.Achmad Djumali dan Prof.Dr.H.Sonhadji Sholeh.Dip,Is yang telah membimbing kami dalam penyelesaian makalah ini.
                 
                      




 Surabaya, 02 Nopember 2010
Penulis   




DAFTAR PUSTAKA
v  Ash Shabuni Syaikh Muhammad.Rawa’ul Bayan Tafsir Ayat-Ayat Hukum.1993.Semarang:CV.Asy Shifa’
v  Prof.Dr.Hamka.Tafsir Al-Azhar.1983.Jakarta:PT.Pustaka Panjimas
v  Al-Mahalliy Imam Jalaluddin dan Asy Suyuthi Imam Jalaluddin.Tafsir Jalalain.1990.Bandung:CV.Sinar Baru
v  Shihab M.Quraish.Tafsir Al-Misbah.2002.Jakarta:Lentera Hati



[1]  Syaikh uhamad Ali Ash-Shabuni.1993.Semarang
[2][2] HR.Abu Daud.periksa jam’ul bayan Ath-Thabari II/204,Ad Durrul Mantsur,Assuyuthi,1/207 dan tafsir al Qurthubi II/339. 

1 komentar:

  1. Jumanji Casino - The Magic City Hotel - JTM Hub
    Jumanji Casino - The Magic City Hotel is located inside 당진 출장샵 Jumanji 동해 출장샵 Casino 논산 출장샵 and 보령 출장안마 is perfect for couples. Jumanji Casino has been voted 경상남도 출장샵 Best For

    BalasHapus